Selasa, 29 Mei 2012

Film Soegija Mengandung Nilai Kemanusiaan Dan Nasionalisme


Dari Kiri, Romo Iswarahadi SJ (Produser Film Soegija), Nirwan Dewanto (Pemeran Utama Film Soegija sebagai Uskup Mgr Soegijapranata SJ) menjadi pembicara dalam bedah Film Soegija pada hari Minggu (20/5/2012) di Ruang Singosari WTC Surabaya. (Fotografer : Richard)
Film Soegija tayang pada tanggal 7 Juni 2012 di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Film tersebut menceritakan karakter Uskup orang Indonesia yang pertama Mgr Albertus Soegijapranata SJ yang berperan bagi kemajuan Indonesia pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Film tersebut tidak semata-mata memfokuskan diri kepada agama Katolik saja tetapi mengandung nilai kemanusiaan , nasionalisme, dan kebangsaan yang universal. Unsur Kekatolikan bukan menjadi tujuan utama dari film ini tetapi menjadi dasar mengolah motif dan cerita yang baik.

Begitulah yang diungkapkan oleh Nirwan Dewanto (Pemeran Mgr Soegijapranata,SJ) bersama Romo G. Budi Subanar, SJ. (Penulis Buku Soegija), dan Romo Yoseph Iswarahadi, SJ. (Direktur Audio Visual PUSKAT Yogyakarta dan Produser Film Soegija) dalam acara talk show bedah Film Soegija pada hari Minggu siang (20/5/2012) di Ruang Singosari WTC Surabaya yang diadakan oleh Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya. Acara itu dimoderatori oleh Wahyu Kristanto selaku Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Darma Cendika Surabaya sekaligus dosen Unika Darma Cendika Surabaya.

Dalam talk show bedah Film Soegija, Nirwan Dewanto mengatakan, Film ini merupakan cerita yang baik tentang kebangsaan yang universal. “Kekatolikan tidak menjadi tujuan dari film ini tetapi menjadi dasar mengolah motif dan cerita yang baik. Ini jarang dikerjakan oleh orang Indonesia. Film Soegija dapat memberikan sumbangan yang penting bagi industri film Indonesia” ujar Nirwan.

Romo Budi Subanar, SJ mengungkapkan, dalam film tersebut diceritakan sosok Uskup Mgr Soegijapranata SJ dalam menggembalakan umat Katolik. Penggembalaannya sebagai Uskup tidak hanya dalam lingkup gerejani saja. “Kekatolikannya muncul di saat misa dan cinta kasih. Tapi buah-buahnya yakni tidak membeda-bedakan suku, kelompok dan golongan apapun” kata Romo Budi Subanar SJ.

“Kita mengangkat sosok Mgr Soegijapranata SJ dalam film Soegija bukan berdasar sama-sama dari ordo Jesuit tapi Mgr Soegijapranata merupakan pahlawan nasional. Peranannya sangat besar bagi bangsa Indonesia saat zaman penjajahan.” tambah Romo Yoseph Iswarahadi, SJ.

Untuk menghasilkan film Soegija, kata Romo Iswarahadi SJ, seluruh pihak film Soegija melakukan riset sejak tahun 2008 melalui wawancara saksi hidup yang mengenal sosok Mgr Soegijapranata SJ, dokumen-dokumen yang ada di Keuskupan Agung Semarang, buku-buku dan majalah yang terbit pada zaman Mgr .Soegijapranata SJ. Semuanya itu diolah menjadi film Soegija yang mengedepankan unsur kemanusiaan dan nasionalisme.

“figur-figur dalam film itu dirangkai dari peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar Mgr Soegijapranata dimana ada figur pokok dan konteks sosialnya” ungkapnya. Syuting dilakukan di Semarang tepatnya gereja dan pastoran gedangan, Ambarawa, Magelang di Rumah Sakit Jiwa, sebuah pabrik gula di Klaten.

Dalam kesempatan itu, “Saya senang bisa bergabung dalam produksi film ini karena mengandung banyak unsur seperti kemanusiaan, nasionalisme, pluralisme.” Imbuhnya. Biarpun beragama Islam, Nirwan tidak masalah berperan sebagai Uskup. Menurutnya, agama jangan dijadikan penghambat karena faktor keimanan yang menghidupi kita bukan hanya dari film tapi dari kehidupan sehari-hari. Menanggapi banyaknya isu yang tidak enak tentang hadirnya film ini, Nirwan menanggapi, jangan memandang film dari unsur religiusitasnya tapi ambillah nilai-nilainya.

“Metode yang dipakai dalam berperan sebagai pemeran utama sama dengan pemain-pemain film lainnya dimana menghayati peran, menikmati proses pembuatan film” jelasnya. Proses yang dilakukan Nirwan dalam menyesuaikan karakter Uskup dalam film yang diproduksi oleh PUSKAT Pictures itu yakni studi literatur, bertanya kepada orang-orang yang mengetahui sejarah Uskup Mgr Soegijapranata, eksplorasi, dan mencari info seputar gereja.

Romo Budi Subanar SJ menambahkan, film ini tidak hanya bercerita kekatolikan saja melainkan berceritakan tentang budaya, sosial, dan nasionalisme. “Pesan yang dapat diambil dalam film Soegija adalah jadikanlah inspirasi bagaimana perjuangan Mgr Soegijapranata SJ melawan kekerasan dan penindasan serta pluralisme” timpalnya.

Ditemui seusai acara tersebut, bentuk dukungan yang dilakukan oleh Keuskupan Surabaya terhadap film Soegija, kata Vicaris Jenderal Keuskupan Surabaya Romo Agustinus Tri Budi Utomo,  adalah menulis surat kepada seluruh Paroki-Paroki untuk mengumumkan adanya film Soegija yang berguna memobilisasi umat Katolik khususnya kaum muda datang menonton film Soegija dan dapat menghayati tokoh Soegijapranata Pr sebagai sosok yang patriotisme. "Sebenarnya sekolah-sekolah Katolik yang ada di Keuskupan Surabaya juga dikirimin surat untuk memobilisasi massa tapi tidak nutut. Namun, saya berharap sekolah-sekolah tersebut juga mendukung pemutaran film Soegija” terangnya.
(Richard)

Panggilan Sebagai Guru Bermakna dan Mulia


Dari Kanan, Prof Anita Lie, Romo Mintara SJ, DR Takim Andriono saat acara bedah buku Jalan Sang Guru hari Sabtu (28/4/2012) di Balai Paroki Santa Maria Tak Bercela Surabaya.  (Fotografer : Richard)
Menjadi Guru itu bermakna dan mulia. Sebab guru sebagai messager (pemberi pesan), provider (pemelihara), dan builder (pembangun). Itulah yang menjadi diskusi bedah buku Jalan Sang Guru. Acara itu diadakan pada hari Sabtu pagi (28/4/2012) di Balai Paroki Santa Maria Tak Bercela Surabaya.
Bekerjasama dengan Penerbit OBOR Jakarta, SMAK Santo Hendrikus Surabaya mengundang pembicara Romo Agustinus Mintara Sufiyanta, SJ (Penulis buku Jalan Sang Guru) dan Prof Anita Lie, Ed.D. (konsultan pendidikan). Mereka membedah buku Jalan Sang Guru dalam rangka hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei. Buku itu berisikan kisah perjalanan guru yang bermakna dan mulia.
Romo Agustinus Mintara Sufiyanta, SJ berkata, yang menjadi dasar penulisan buku Jalan Sang Guru adalah kisah perjalanan hidup guru SMAK Santo Hendrikus Surabaya. “Benang merahnya dalam buku ini adalah guru sebagai panggilan sekaligus perjalanan hidup bersama kita maka saya beri judul Jalan Sang Guru. Jalan sang guru bukan hanya jalan guru dengan kita saja melainkan dengan Sang Guru Yesus maka guru-guru kristiani diharapkan dapat juga berjalan bersama Sang Guru yakni Yesus” imbuhnya. Lanjutnya, sejauh ini jalan bersama Sang Guru ada yang sudah berjalan bahkan ada yang belum. Hal itu didasari oleh aspek kemanusiaan dan humanisme.
“Guru tidak hanya mengajar sekedar memberikan pengetahuan saja tapi mengajar dengan penuh cinta.” kata Romo Mintara, SJ dalam acara bedah buku Jalan Sang Guru. Itulah bentuk jalan guru bersama Sang Guru Yesus.
Menurut Romo Mintara SJ, guru harus mempunyai kedalaman diri dalam mengajar agar panggilan guru bermakna dan mulia. Guru dapat memotivasi, menginspirasi dan menghayati kehidupan kepada muridnya.
Prof Anita Lie, Ed.D menambahkan, guru harus bisa menekuni jalannya dengan cara guru harus tahu bahwa panggilannya itu bukan sekedar mencari nafkah. “Di Indonesia saat ini masih banyak guru yang belum menghayati panggilannya” kata Anita Lie yang ditemui oleh Jubelium seusai acara bedah buku itu.
Seorang guru yang ideal dalam dunia pendidikan, ungkap Anita Lie, yaitu sebagai pemberi pesan perdamaian dan pengetahuan, provider, dan builder. “Messager yang baik adalah guru selalu mengajar dan mendidik tanpa disertai marah terus-terusan. Marah boleh saja tapi jangan terus-terusan” jelasnya.
Anita Lie juga mengungkapkan, dalam perjalanannya sebagai guru, guru akan menemukan proses penemuan dirinya dalam bidang studi, dalam muridnya, maupun dengan Tuhan. “Guru harus membuat murid itu cinta kepada bidang studi yang diajarkannya dan mengajar dengan asyik.”
Oleh karena itu, Romo Mintara, SJ meminta kepada orang tua untuk membantu dan menghargai kehidupan guru. “Sebab guru telah membantu kehidupan anak anda.” ungkap Romo Mintara, SJ ketika ditemui oleh Jubelium sebelum acara bedah buku Jalan Sang Guru dimulai.
Romo yang bertugas sebagai instruktur Kursus Kepemimpinan Sekolah itu mengungkapkan, belum ada profesi lain yang dapat dikenang oleh murid-murid dalam hidupnya. “Murid-murid selalu mengenang guru yang telah mengajarkannya kehidupan maupun pengetahuan bukan profesi lain seperti manajer, direktur, pimpinan perusahaan” kata Romo yang pernah bertugas menjadi Kepala SMP Kanisius Jakarta tahun 2009-2011 tersebut.
Romo Mintara, SJ berpendapat bahwa kehidupan dan kesejahteraan guru perlu diperhatikan oleh para Uskup, Pastor, Suster maupun Frater yang konsen dalam bidang pendidikan. Di tangan guru, kaum muda sebagai masa depan gereja ditanamkan benih-benih kehidupan seperti sharing of life, sharing of love selain bekal ilmu pengetahuan. “Masa depan gereja dipertaruhkan jika Uskup, Pastor, Suster dan Frater maupun guru kurang konsen dalam mengembangkan dunia pendidikan” tegasnya.
Dalam sambutannya, Romo YPH Jelantik mengatakan, bedah buku ini bukan menjadi suatu kebanggaan tetapi mengilhami panggilan guru. Guru sebagai pilar umat Allah, guru sebagai panggilan hidup bukan sekedar panggilan profesi saja. Dari sebab itu, Perwakilan dari Majelis Pendidikan Katolik Suster Yosefa, S.SpS. mengharapkan, bedah buku ini menjadi peristiwa penting dalam bidang pendidikan.
(Richard)